Saturday, February 18, 2012

Cinta Mati Ternyata Ada

Sudah enam tahun suami Mbok Pinah tergolek sakit di atas ranjang dengan kasur lusuh sebagai alas. Kasur yang begitu lusuh sehingga tak pantas lagi disebut sebagai kasur. Kain kasurnya yang bermotif garis-garis warna biru dan putih itu robek di sana-sini. Sehingga, sesekali ada kapuk keluar dari persembunyiannya.
Tak ada tempat yang lebih lebar lagi selain kasur lusuh itu. Di bawah kolong, sampai seluas-luasnya hingga mencapai bibir daratan, terhampar Pulau Jawa yang sungguh subur. Sebegitu luasnya, namun hanya beberapa ruas kaki yang sanggup dihuni suami Mbok Pinah. Ya, kasur itu hanya seluas dua-tiga ruas kaki orang dewasa saja. Tak lebih.
Mungkin, sepanjang sisa hidupnya dia harus rela menghabiskan di atas kasur itu. Rasanya, ingin sekali dia bangkit dari kasur itu dan kembali mencangkul di sawah. Namun apa yang dapat dikata. Tenaganya terbang entah ke mana.
Enam tahun lalu ketika Wak Suto, suami Mbok Pinah, sedang asyik bekerja -mencangkul- di sawah, secara tiba-tiba tubuhnya tersungkur ke tanah penuh lumpur. Wak Suto kena stroke. Lalu dia dibawa oleh teman-temannya sesama petani pulang ke rumah. Melihat suaminya dalam keadaan tak sadarkan diri, Mbok Pinah juga ikut tersungkur ke tanah, pingsan.
Baru setelah diberi bau-bauan dari minyak kayu putih, Mbok Pinah sadar. Namun, Wak Suto masih memejamkan matanya. Belum juga sadarkan diri. Karena lama tak sadarkan diri, teman-temannya memanggil "orang pinter." Orang itu membacakan mantra-mantra di telinga Wak Suto. Lalu sadarlah Wak Suto. Ketika sadar dari stroke, dia hanya dapat melihat sebuah dunia yang hanya berwarna ungu pekat. Juga merasakan tubuhnya lemas tak bertenaga, sampai sekarang.
Segala sesuatu yang menyangkut kebutuhan Wak Suto selalu dipenuhi dan dilayani sang istri. Mbok Pinah dengan tulus dan ikhlas selalu melayani suaminya yang tergolek sakit. Tak ada hal lain yang dapat dilakukan. Dengan kata lain, dunia Wak Suto hanya seluas dimensi kasur.
Makan, minum, mandi, hingga rutinitas buang air kecil dan besar pun harus dengan pelayanan istrinya. Suap demi suap bubur dengan cermatnya disodorkan ke mulut sang suami. Semua terkesan tulus dan ikhlas. Jika ada bubur yang membelepoti bibirnya, maka dengan hati-hati Mbok Pinah menyeka dengan sapu tangan.
Mereka tinggal berdua di sebuah rumah yang rapuh. Temboknya terbuat dari papan ala kadarnya dan tiang penyangga tua. Sebentar lagi akan roboh jika terserempet puting beliung. Tak ada sesuatu apa pun yang berharga di rumah itu selain setrika listrik yang dibelikan anaknya yang merantau di Surabaya. Padahal, di rumahnya tak ada listrik. Walaupun, listrik sudah masuk desa dan dapat dinikmati penduduk.
Kedua anaknya pergi meninggalkan emak dan bapaknya. Juga meninggalkan Desa Karangwungu yang membesarkannya. Hanya uang dan uang yang datang menjenguk Mbok Pinah dan suaminya. Uang yang tak cukup untuk menyambung hidup. Sudah dua kali Idul Fitri anaknya tak juga pulang dan menjenguk orang tuanya yang sakit. Ingin sekali orang tua itu melihat kedua anak perawannya pulang ke rumah. Memeluknya dengan cinta dan kasih sayang yang hangat. Namun, semua itu kini hanya menjadi awang-awang. Mereka lelah menantikan kedua anak perawannya yang mencari uang di Surabaya.
Untuk membuat dapurnya tetap mengepul, Mbok Pinah bekerja sebagai pencari kayu bakar. Tempatnya di hutan yang cukup jauh dari Desa Karangwungu. Kayu bakar itu dijual kepada penduduk kampung sebelah. Untuk dapat mencapai hutan itu, dia harus berjalan menyusuri rawa-rawa dengan gestur tanah yang gembur. Juga, masih ada bengawan atau sungai. Penyebutan itu mungkin timbul karena aliran sungai juga merupakan aliran anak Sungai Bengawan Solo. Selain mencari kayu bakar, Mbok Pinah juga membuat arang dari batok kelapa. Nantinya, arang itu dijual kepada pedagang sate yang tersebar di sekitar Telon Semlaran, Lamongan.
Kesulitan dan kerasnya hidup tak membuatnya menyerah. Dia masih semangat menyongsong hari esok. Dari raut wajahnya yang keriput, masih terlihat jelas bara api yang menyala-nyala. Sisa-sisa kecantikannya masih tampak meskipun keriput tersebar di sana-sini. Umurnya yang sekitar 60 tahun bukan halangan untuk tetap menerobos kejamnya kehidupan.
Tak ada sesal sedikit pun di wajahnya mengenai nasib bersuami lelaki tua yang lumpuh. Dia masih tegar dan setia kepada sang suami. Bukan karena hasratnya yang kalah oleh umur, namun karena kesetiaan yang sampai pada tahap ma’rifat.
Suatu hari, Wak Suto mengalami kejang-kejang yang sungguh dahsyat. Hingga ranjang yang menahan berat tubuhnya serasa mau ambruk. Serentak rumah mereka didatangi oleh para tetangga yang datang memastikan kabar itu. Salah seorang di antara tetangga itu kembali memanggil "orang pinter."
Orang yang sama seperti enam tahun lalu ketika Wak Suto tak sadarkan diri akibat stroke. Sama seperti enam tahun lalu, "orang pinter" itu kembali membacakan mantra-mantra yang ditujukannya pada telinga Wak Suto.
Kali ini mantranya tak semanjur enam tahun yang lalu. Wak Suto masih kejang-kejang. Karena mantranya gagal, dia pun kembali mengulangi pembacaan mantra dengan suara agak keras. Namun, tetap dengan nuansa mistis dan khidmat. Kejang Wak Suto pun sedikit reda. Kecemasan dan kesedihan Mbok Pinah ikut-ikutan reda. Setelah seluruh kejang Wak Suto mereda, dia pun mengeluarkan suara. Suara yang terdengar berat.
"Pinah, istriku, jika aku mati…" suaranya terhenti sejenak. Dia mengumpulkan tenaga untuk meneruskan suaranya. "Jika aku mati, hendaklah engkau menyusulku. Percuma engkau hidup, anak-anak kita tak akan peduli pada orang tuanya yang telah melahirkan dan membesarkannya."
Tak hanya Mbok Pinah, para tetangga pun kaget mendengar perkataan Wak Suto. Lalu Wak Suto meneruskannya. "Aku ngomomg begini bukan karena kedonyan. Tapi aku merasa itulah yang terbaik untukmu, juga untuk kita," ujarnya. Tak ada yang menanggapi. Semua yang mendengarkan hanya membisu dan mematung.
Air mata meleleh lembut dari mata Mbok Pinah. Selembut hatinya merelakan kepergian sang suami untuk selamanya. Arwah Wak Suto terbang entah ke mana. Yang tinggal hanya jasad yang kurus kering tergolek di kasur lusuh itu. Tugasnya untuk melihat dunia dan "numpang minum" telah selesai dijalani.
Mendengar kematian Wak Suto, hampir seluruh penduduk kampung memberikan seserahan apa adanya. Ada yang memberikan gula, ketan, kopi, beras, juga ada yang memberikan uang kepada janda baru itu, Mbok Pinah. Tak heran bila penduduk kampung begitu solidaritas kepada sang kawan yang pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.
Wak Suto terkenal baik dan ramah. Tak ada satu musuh pun yang dimiliki. Justru kawan yang banyak. Bahkan, dari kampung sebelah pun dia juga banyak memiliki kawan.
Prosesi pemandian dan penguburan Wak Suto telah menyedot perhatian seluruh penduduk kampung. Seluruh warga bergotong royong mengantarkan kepergian Wak Suto ke tempat pengistirahatan yang terakhir. Juga malam harinya, tahlil untuk mengiringi kepergiannya dihadiri oleh penduduk kampung dan para sesepuh serta petinggi desa. Para tetangga perempuan sibuk di dapur membuat dan menyuguhkan makanan untuk para jamaah tahlilan. Semua biaya untuk melakukan hajatan itu didapati dari para tetangga-tetangga. Mbok Pinah tak sedikit pun mengeluarkan uang. Bukan karena tak punya uang, namun karena rasa kekeluargaan yang begitu luhur di antara penduduk desa.
Tahlilan sudah sampai pada malam ketiga. Namun, kedua anak perawannya tak juga kunjung pulang. Padahal, mereka sudah dikirimi kabar melalui SMS oleh petinggi desa. SMS itu juga telah dibalas oleh mereka.
"Kami akan segera pulang. Secepatnya." Begitulah balasan yang diterima petinggi desa dari kedua anak perawan Mbok Pinah dan almarhum Wak Suto. Kata "secepatnya" adalah penekanan bahwa mereka pasti datang dengan segera. Namun, hingga hari ketiga tahlilan mereka tak juga pulang ke rumah.
Malam ketiga tahlilan itu membukakan mata dan hati para penduduk kampung. Mereka menyaksikan sebuah peristiwa yang sungguh menyentuh lubuk hati sedalam-dalamnya. Mbok Pinah yang juga ikut membacakan tahlil dengan lembut pergi meninggalkan mereka untuk selamanya. Mbok Pinah pergi untuk selamanya dengan keadaan duduk sambil memegang buku tahlilan.
Menyaksikan kejadian itu aku hanya bisa duduk bersila mematung. Nagasari yang tinggal satu gigitan lagi tak juga aku makan. Aku diliputi rasa merinding sedalam-dalamnya. Alam pikiranku mengembara pada peristiwa ketika ajal menjemput Wak Suto. Di telingaku terngiang-ngiang suara Wak Suto: "Jika aku mati, hendaklah engkau menyusulku."
Amanat Wak Suto sebelum mati telah dilaksanakan oleh istrinya. Mbok Pinah pergi menyusul. Kini mereka kembali bertemu. Hidup bersama kembali. Penuh kedamaian. Semoga. Suara Wak Suto yang terngiang di telingaku telah hilang ditelan hiruk-pikuk yang menyelimuti rumah itu. Salah seorang sesepuh desa yang duduk di sebelahku mengeluarkan suara. Suaranya terdengar lirih namun penuh keyakinan.
"Ternyata… di dunia yang penuh dengan kepura-puraan ini, cinta mati benar-benar ada…"

Jawa Pos, 2008 : Eko Darmoko

Belenggu Salju

Tak ada kepak gagak di Compton yang selalu menguarkan bau sampah busuk, anggur murahan, dan bangkai manusia yang disembunyikan di ghettos atau rumah-rumah besar yang mengonggok tanpa lampu. Juga tak ada salju atau angin santer yang membekukan tiang listrik atau menggigilkan para negro yang sedang menari acakadut atau menyanyikan rap keras-keras di sembarang trotoar malam itu. Tetapi di kota yang seakan-akan tak pernah disentuh tangan Kristus itu, aku justru senantiasa mendengarkan jerit burung kematian memekik tak henti-henti sepanjang hari. Selalu terdengar berondongan peluru dan siapa pun menganggap letusan-letusan itu hanya sebagai derit mobil yang direm mendadak oleh pembalap kampungan. Selalu ada bisik-bisik transaksi kokain, morfin, ganja atau hasis, tetapi segala desis hanya terdengar sebagai siulan rahasia kanak-kanak untuk mengajak geng kecil mereka mengintip percumbuan sepasang kekasih di kegelapan taman.

Tentu pada Mei yang dipenuhi perkelahian-perkelahian sia-sia antara para petarung Meksiko dengan orang-orang negro, seharusnya aku tak perlu menggigil kedinginan, tetapi selalu saja kurasakan salju seperti membungkus tubuhku saat melakukan patroli di kawasan kumuh yang tak pernah dilewati mobil Paris Hilton atau jejak kaki Pamela Anderson ini. Dan musim semi yang tak menebarkan jutaan ulat juga kerap membuatku gatal saat aku mulai menyuruk-nyuruk ke gang-gang gelap penuh grafiti. Aku jadi mengidap psikosomatik akut dan setengah lumpuh sebelum menembakkan pistolku kepada siapa pun yang ingin mengacau keamanan dan ketertiban Los Angeles County.

Celakanya, sebagai deputy sheriff atau dulu saat masih menjadi polisi, aku tak mungkin menghindar dari jerat celaka kota tanpa malaikat ini. Andai saja Grace, kucing jelita bergaun biru yang kerap mencakar punggung saat bercinta denganku, tak tinggal di salah satu apartemen kumuh di pusat Compton, tak sudi aku menginjak neraka yang mengingatkan aku pada carut-marut pinggiran Jakarta yang dihuni ribuan zombi berwajah celeng atau babi. Juga andai kata J Morgan—raja geng berkulit hitam arang yang senantiasa mengejekku sebagai herder busuk—tak bersembunyi di labirin membingungkan yang bertebaran di sini, tak akan mau aku kelayapan malam-malam di tengah-tengah berondongan peluru, dengus orang mabuk, dan celometan orang-orang yang tak lagi menganggap sinar bulan di pucuk katedral sebagai aurora harapan.

"Ayolah, Grace, tinggalah di apartemenku. Keluarlah dari neraka busuk ini," kataku setelah yakin hendak meminang perempuan blasteran Afrika-Meksiko itu tiga tahun lalu.

"O, Tito, Sayang, kota ini memang tak indah bagimu. Tapi di jalanannya yang riuh dengan rap dan gedebuk para penari, aku menulis grafiti jorok dan meneriakkan keinginan-keinginan kaumku yang melarat dan tak punya harapan," desis Grace mirip para politikus saat berpidato.

Tak ingin mendebat omelan instruktur penari nudis yang kukenal di Sunset Boulevard itu, aku justru terkenang pada masa kecilku di Alas. Sampai seusia Sinchan, aku memang tinggal di kota kecil penuh sungai yang menghubungkan Semarang dan Solo itu. Di tengah-tengah hutan karet yang tak bisa kau lihat dalam peta Indonesia, aku bahkan pernah jadi gali kecil yang suka mencekik kucing di hadapan teman-temanku.

"Kalau saja tidak diungsikan ke Los Angeles oleh Oma-mu, aku yakin kau juga tak akan meninggalkan kota kelahiranmu, Tito. Kau mungkin tak jadi polisi. Kau mungkin akan jadi penjahat paling busuk di kotamu."
Meskipun segala yang dicelotehkan Grace setengah ngawur akibat martini yang ditenggak tak kunjung henti, sekali lagi aku tak berusaha mendebat. Pada saat-saat semacam itu Grace seperti menjelma cermin yang bisa memantulkan segala yang pernah kulakukan di sungai yang mengalir di belakang rumah. Aku ingat pada perahu-perahu kertas yang kuhanyutkan. Aku terkenang pada rakit-rakit pohon pisang yang meluncur tak keruan. Aku juga tak lupa pada setiap Sabtu sore dari berbagai lubang di sepanjang sungai muncul ular-ular yang melesat cepat ke gerojokan.

Tapi tak ada sungai ular di Los Angeles. Tak ada juga hutan karet di tengah-tengah gedung tinggi. Bahkan dari apartemen Oma, aku nyaris tidak pernah melihat bulan. Meskipun demikian, Oma berusaha memberikan segala yang kuinginkan lewat televisi. Di televisi, aku bisa melihat salju yang mulai meleleh di bukit-bukit atau bulan yang tampak sebagai tampah kecil di ujung langit. Di televisi pula aku bisa menyaksikan para polisi atau sheriff dihajar oleh para penjahat di Compton, tetapi selalu menang setelah bala bantuan dari markas besar muncul menggasak bandit-bandit yang kadang-kadang hanya bersenjata pisau berkarat atau pentungan.

Aha! Televisi pula yang menjadi ibu sejati yang selalu berbisik di telingaku menjelang tidur, "Ayo, Tito, jadilah polisi. Gasak setiap maling. Pukul kepala bodoh mereka dengan pentungan baseball. Tembak punggung mereka kalau terbirit-birit melarikan diri saat kau kejar."

Tetapi Grace selalu tak membiarkan aku menerawang jauh ke kota kelahiran, tempat ayah dan ibuku diculik tentara pada 1979 yang perih hanya karena mereka dianggap bersekongkol dengan para pejuang prodemokrasi dan neokomunis yang sedang bergerilya di Jakarta. Selalu pada saat-saat aku begitu ingin menikmati kesunyian—yang celakanya hanya bisa kuciptakan di kepalaku—ia selalu memelukku dari belakang, memberi gigitan kecil di telinga yang memabukkan, dan membisikkan kata-kata cinta serupa mantera serupa doa Kristus sebelum serdadu menusukkan lembing di lambung ringkih, sebelum langit tersaput awan hitam.

"Ayolah, Sayang, tak usah kau paksa aku meninggalkan kota yang selalu kau bayangkan sebagai neraka ini. Anggap saja aku ini bidadari busuk atau kucing biru dari ghetto Compton. Anggap saja aku bulan yang kau rindukan di sela-sela kegelapan gedung-gedung rusak yang ditinggalkan oleh orang-orang kaya yang kini melesat ke mana-mana dengan limosine di jalanan Los Angeles yang serba tertib dan beku.... O, kenapa kau diam saja, Sayang? Bukankah kau menyusup ke kamarku hanya untuk bercinta sambil bersama-sama mengintip orang-orang yang berkasak-kusuk di gang-gang sempit dari jendela? Bukankah sambil menggasak telingaku, kau akan selalu mengatakan padaku salju akan turun di Compton saat kau meminangku? Mengapa kau menipuku, Tito? Mengapa tak kau pindahkan saja musim dan bukit-bukit di sekitar Danau Tahoe ke ghettos busukku agar kita benar-benar merasakan keindahan salju?"

Aku menyesal selalu tak menjawab berondongan pertanyaan Grace dengan baik atau sedikit serius. Selalu saja kurespons kalimat-kalimat yang kuanggap konyol itu dengan ciuman panjang dan bisikan-bisikan gombal tentang sepasang malaikat yang bakal hidup sepanjang zaman tanpa perlu katedral tanpa perlu nabi atau Tuhan.

Kau pun akhirnya tahu itulah dengus cinta terakhir Grace yang diucapkan padaku sebelum tubuhnya diberondong tembakan membabi buta oleh penembak misterius yang menganggap penari ringkihku itu sebagai mata-mata polisi. Rupa-rupanya para anggota geng yang kerap mengklaim sebagai juru selamat atau Robinhood bagi orang miskin tak bisa menerima warga Compton mana pun bercinta dengan polisi. Polisi—lebih-lebih berkulit bewarna—bagi mereka adalah iblis yang harus dilenyapkan dengan cara-cara yang paling tidak terhormat. Menurut mereka, di luar orang- orang kulit putih, seharusnya setiap orang bersaudara dan tak perlu saling mengancam. Dan dalam kasusku, karena dianggap sebagai pengkhianat, mereka menyiksaku dengan cara membunuh kekasihku terlebih dulu. Lebih brengsek lagi Grace tidak punya kesempatan mengungkapkan dying declaration saat aku bersama Gabriel Lee, rekan kerjaku, menyusup ke kamarnya yang berantakan oleh berondongan peluru. Dengan tubuh penuh kucuran darah, dia memang masih bisa merangkul dan menggerak-gerakkan jari jemarinya di punggungku, tetapi saat kutanya siapa yang melakukan perbuatan biadab itu, mulut Grace seperti terkunci.

"Ayo, katakan kepadaku, siapa yang menembakmu, Sayang?" teriakku setengah menangis.

"O, my God, please, jangan keburu melihat surga, Grace! Katakan pada kami siapa yang melukaimu?" pekik Lee—yang sering kuanggap sebagai malaikat pelindungku—kesetanan.

Tetap tak ada jawaban. Lima belas detik yang berharga lenyap begitu saja. Ya, dying declaration, ungkapan 15 detik Grace menjelang kematian yang bisa dipakai untuk menangkap atau melakukan penggeledahan tanpa warrant itu benar-benar hanya tersangkut di tenggorokan. Coba kalau saja ia mengatakan bahwa Morgan-lah yang menghabisi nyawanya, saat itu pula aku akan mengobrak-abrik setiap labirin Compton dan menangkap bajingan tengik itu dan menembak kepalanya berkali-kali. Tidak! Tidak! Mungkin lebih baik aku akan membawa bajingan tengik itu ke Penjara San Quentin agar dia bisa merasakan bagaimana membeku di sel yang sempit. Kalau perlu aku akan minta izin menyuntik mati atau memberlakukan kembali hukuman tabung gas kepada bandit busuk itu. O, ancaman death row, sel-sel dingin mematikan yang berjalur-jalur itu, pun rasanya kurang kejam untuk mengganjar perbuatan Morgan, belut sialan yang selalu lepas dari tembakan dan kejaran polisi itu.

Mendadak Lee terpekik. "Lihat, Tito, di punggungmu ada tulisan Jesus dari darah Grace. Tidakkah ini bisa kita gunakan sebagai dying declaration?"

Hmm...darah Yesus memang berguna untuk para pendosa. Tapi tulisan "Jesus" di punggungku mungkin hanyalah ungkapan sia-sia Grace untuk menghadapi maut yang mencengkeram. Hanyalah grafiti tanpa arti di pakaian yang tentu tak akan kukenakan lagi saat mengejar Morgan atau penjahat-penjahat kambuhan di jalan-jalan. Meski begitu, kau tahu, Yesus di punggungku, akhirnya lebih kumaknai sebagai salib yang harus kupanggul dengan langkah yang terseok-seok saat kususuri trotoar Compton yang tak pernah bersih meski musim semi hinggap di pohon-pohon anggur atau murbei.

Dan tiga tahun setelah penembakan itu, tentu aku belum mampu melupakan malam-malam indah di Compton. Okelah aku memang berkali-kali memutar film komedi A Night in Compton, tetapi setelah itu aku justru teringat tawa renyah Grace saat mengguyur tubuhnya di shower. Aku justru teringat gerakan-gerakan tarian baru yang ia ciptakan menjelang kematiannya yang bagai kucing dicincang itu.

Saat meratapi kematian Grace, aku kadang-kadang memang menyimpulkan telah mencari cinta di tempat yang salah. Jika saja aku bisa menulis puisi, mungkin aku akan memberi tajuk teks itu Looking for Love in the Wrong Place. Tapi aku polisi dan tak suka puisi. Jadi, caraku mengenang Grace cukuplah memutar No Woman No Cry keras-keras dan kuucapkan janji-janji untuk tak mati-mati sebelum bisa membunuh penembak misterius yang kini menghilang dari labirin Compton yang telah kususuri inci demi inci.

Anehnya, setelah melewati malam-malam panjang melelahkan dan setiap saat menjalani pekerjaan menjenuhkan sebagai pengantar para penjahat yang akan dieksekusi mati di Penjara San Quentin, aku kian yakin salju tetap akan turun di Compton sekali waktu. Meskipun demikian, semua berjalan seperti biasa. Cuap-cuap rap terus mengalir. Bisik-bisik mesum terus menguar. Berondongan peluru tetap ngawur dilesatkan di sembarang mobil polisi yang melintas pelan-pelan.

Ternyata aku keliru. Dari pesawat radio di mobil kudengar pemberitahuan terjadi kejar-kejaran antara polisi dengan geng Morgan di sepanjang jalan. Aku dan Lee yang baru saja membereskan urusan pembunuhan mutilasi tak jauh dari apartemen Grace, pasti mudah menangkap musuh bebuyutan para polisi dan sheriff itu. Dan benar iring-iringan mobil yang menderu itu mengarah ke jalan yang telah kukuasai. Aku dan Lee tak akan kesulitan menembak ban mobil bobrok Morgan, setelah itu setan gila dan para anak buahnya dengan tubuh bersimbah darah tak mungkin tidak merangkak-rangkak memohon ampun dengan bahasa aneh tak keruan.

Edan! Khayalan tinggal khayalan. Mobil sableng—yang astaga jelas-jelas dilukisi gambar pria dari Nazareth dan tulisan Jesus itu—berhasil meloloskan diri dari kejaran dan menyerempet mobil kami setelah berhasil menghindar dari tembakan-tembakan Lee maupun berondongan peluruku.

Menatap grafiti itu ingatanku melenting-lenting ke tulisan berdarah Grace di pakaianku. Itu membuatku kesetanan meloncat ke mobil dan segera mengejar sedan penuh warna itu. Ya, percayalah tak lama lagi aku akan berhasil memborgol Jesus yang memberondong tubuh Grace tiga tahun lalu. Tak lama lagi aku akan memenjara atau menyalib dia di San Quentin atau jika perlu menembak jidatnya dengan beberapa peluru. Setelah itu, aku berharap salju akan turun di Compton dalam warna serba biru. Serba biru, ya, serba biru. Apakah kau masih tetap mengatakan salju tak akan pernah turun di Compton sepanjang waktu, kucing jelitaku?

Grace tentu tak bisa menjawab pertanyaanku. Dalam riuh desing peluru, setelah menabrak patung malaikat di kelokan jalan, lewat mikrofon kemrusek Morgan justru menirukan gonggong herder menyerupai Pangeran Srigala yang tak bisa dibunuh dengan sepuluh atau seratus peluru. Apakah salju benar-benar tak akan pernah turun di Compton, kekasihku?

Tetap tak ada jawaban. Kini kurasakan labirin jalanan melahap mobil kami dan sedan Morgan yang terus-menerus meraung-raung membelah malam.

Los Angeles-San Francisco, 2007 : Triyanto Triwikromo

Bawah Rembulan

AWALNYA aku takut. Lama-lama jadi terbiasa. Hidup bersama orang-orang masa lalu di kota ini. Tanpa siang. Semua waktu adalah malam. Kadang hadir sebuah rembulan di langit. Membuatku senantiasa merasa sunyi walaupun sebenarnya aku suka sekali melihat rembulan. Malam rembulan.

Seorang penduduk, salah satu dari orang-orang masa lalu, pernah berkata padaku, kalau sebenarnya mereka letih untuk kembali bekerja ketika siang hari. Karena itulah mereka berkeputusan membakar siang. Membakar matahari.

Memang sudah lama aku mendengar kala waktu?yang katanya tanpa siang di kota ini. Siang sudah tak ada lagi. Siang telah menjadi malam. Kadang mereka juga kerap berpetuah pada pendatang yang kebingungan kerena menetap di kota yang selalu malam. Dalam ingatan, selintas petuah mereka terdengar: kau tak perlu ragu, jika hendak menetap di kota ini. Kata itulah yang masih terngiang sampai saat ini. Jangan pernah ragu.

Ya. Selalu terngiang. Lantas, aku kembali berpikir, kenapa cemas? Cemas bagian sisi manusia. Kerap menghancurkan.

Tentang cemas, bagi orang-orang masa lalu hanyalah milik orang tak punya rasa syukur. Makanya, dahulu orang-orang masa lalu sepakat membakar matahari yang baginya membuat letih dan cemas. Terkadang sakit. Entah sakit yang bagaimana. Karena terbit sampai tenggelam matahari hanya menjadikannya bekerja. Alasan cengeng. Tapi sekarang mereka senang, petanda separuh hari telah mereka bakar. Semata, supaya tidak bekerja. Kalaupun bekerja, paling hanya untuk tidur. Tindakan aneh. Tidak masuk akal, tapi begitulah kedaannya. Begitulah seterusnya.

Di hari yang selalu malam ini, terkadang aku melihat anak-anak kecil tampak riang bergembira tanpa beban. Betis ceking tanpa alas kaki, sambil bertelanjang dada, berlarian mengitari lapangan. Kembali lagi, dalam ingatanku, konon hal tersebut bagi mereka adalah ritual. Petanda bentuk penghormatan terhadap leluhur orang-orang masa lalu. Setiap hari mereka lakukan itu, sambil mengitari api unggun, mulai anak-anak sampai orang tua. Berkeliling. Begitulah seterusnya.

Sekali lagi, setiap hari malam rembulan. Dalam tatapan aku selalu melihat anak-anak berlarian. Saling kejar-kejaran. Dan remaja berpasang-pasangan, para orang tua asyik duduk tenang di setiap balkon depan rumahnya. Mereka menikmati malam. Malam bersahaja. Malam tak pernah mati.

Dalam sepanjang malam seperti ini, aku menikmati. Malam rembulan. Aku ingin mengerti semua ini. Aku tidak tahu, mengapa sedemikian berani mereka membakar siang. Aku makin hanyut oleh rasa ingin tahu. Menggelisahkan.

***
Sungguh unik kehidupan di kota ini. Semua orang mampu menikmati kehidupan seperti ini. Barangkali inilah suatu kehidupan yang tak pernah ada di muka bumi ini. Kota tanpa siang. Selalu malam. Tanpa matahari.

Seperti tadi aku bilang, sekali lagi, semua orang mampu menikmati kehidupan seperti ini. Kecuali, perempuan itu. Sering aku memperhatikannya menyendiri. Sebenarnya hal itu kuperhatikan sejak pertama kali di kota ini. Aku tidak tahu namanya. Kerap aku memperhatikan, setiap gelagatnya jauh seperti perempuan umumnya yang selalu mampu menikmati malam. Tapi, sepertinya ia justru ternikmati sebagai suatu kesunyian. Bermain sunyi. Barangkali.

Suatu ketika, aku memandangnya dari kejauhan. Ia jauh dari keramaian umumnya. Dengan langkah amat perlahan aku mendekatinya. Aku mendengar isak tangis perempuan itu. Sekali lagi, kembali aku tak tahu. Entah kenapa ia menangis. Aku pun ragu untuk lebih mendekat. Hanya bertanya dalam hati. Menduga-duga.

Dugaan salah. Di malam rembulan ini, yang tanpa siang, masih ada perempuan menangis. Menangis setiap saat. Sepengetahuanku, sejak kota ini menjadi malam tanpa siang, sungguh penuh suka cita. Tanpa duka. Terlebih oleh perempuan tengah menangisi kota ini. Kotanya sendiri. Sekali lagi, aku makin hanyut oleh rasa ingin tahu--selain keingintahuanku tentang mengapa sedemikian berani orang-orang di kota ini membakar siang. Membakar matahari.

Suasana aku nikmati menjadi begitu sunyi. Sunyi di balik derai tawa semua orang. Sunyi karena perempuan menangis. Menjadikan bukit-bukit tidak lagi tawarkan keindahan dari bayang-bayang selimut malam. Apalagi pagi, ketika embun membayang-bayangi bukit di tampak kejauhan. Laut juga tidak membawa debur ombak lagi. Apalagi ombak saling balap. Yang tersisa hanya gelap. Bermahkota bulan. Malam rembulan.

Kini aku benar-benar mendekati perempuan itu. Di belakangnya. Rupanya ia tahu. Tanpa kusadari, ia menangis sambil berkata-kata. Kata bersama isaknya yang terbata-bata. Sekarang aku benar-benar mendengarnya. Suatu hal paling aku inginkan.

Seketika itu pula kudengar ia berkata. Sambil terisak-isak. Menjadikannya terdengar terputus-putus.

"Inikah kotaku? Kota hancur. Mati. Orang-orang serakah. Matahari sudah mereka hancurkan. Matahari sudah tak milik kota ini lagi. Hancur. Langit tak punya salah. Langit kehilangan mataharinya. Kota ini tak bercahaya lagi. Semua mata pada gelap! Barangkali pikirannya pun demikian."

Aku tak mengerti. Ucapnya bercampur isak begitu menampakkan emosi batinnya terasa olehku. Terputus-putus. Sebisa mungkin aku merasakannya. Aku diam. Aku biarkan sampai ia berkata-kata kembali. Cukup lama aku menunggu. Kembali terlihat olehku, ia tampak sibuk memainkan jemarinya. Mengelus-elus putih kuku kerasnya. Memijat tangan lembutnya sendiri. Rasanya seperti menghitung-hitung irama kegelisahannya. Gundah. Rasanya banyak pula ingin dikatakannya. Kata kesal. Barangkali sesal.

Aku pun memulainya. Setidaknya ia kembali untuk berkata-kata lagi. Aku mendengar kata-katanya kembali. Tidak jelas. Sekuat tenaga, aku berusaha menangkap maksudnya. Sekuat tenaga, aku ingin mengerti kegelisahan mendaging dari miliknya. Rasanya. Ucap kesal dan sesal terdengar banyak. Sulit aku mengungkapkannya. Ungkapan mengalir dan seterusnya. Begitulah.

***
Aku kembali ke rumah. Melintasi jalan-jalan sepi. Lengang: Sembari masih teringat perempuan itu. Oh, kehidupan malam. Malam rembulan. Kau membuat aku selalu bertanya-tanya. Entah kehidupan macam apa ini. Mengapa sedemikian nekat orang-orang kota ini membakar siang. Membakar matahari.

Dalam pikiran, barangkali khayalan dalam angan, terlintas: Aku dan kekasihku masih berjauhan. Jarak jauh. Jarak terpisah oleh lautan. Bahkan pulau. Aku di sini, seperti aku bilang tadi, di pulau pada kota tak tanpa matahari. Siang mati. Sudahlah, aku hanya bayang. Seperti bayang dari wujud cahaya rembulan. Berpendar. Dari bulan tersiram matahari di pulau sana. Aku tak tahu. Di sini masih dan akan terus tanpa matahari. Malam selamanya. Sudahlah, sepertinya jadi makin mengigau sepanjang perjalanan ini. Gelap. Lengang. Selalu dan masih di bawah rembulan.

***
Seperti tak tersadar. Entah kemana aku melangkahkan kaki ini. Terus berjalan. Di bawah rembulan mengitari kota ini. Seperti kukatakan tadi, kehidupan orang-orang di sini seperti lebih bercahaya. Entah cahaya bagaimana. Bahkan cahaya apa. Dari pancaran mata orang-orang di sini tak menampakkan sebuah beban. Beban kosong. Kelamaan terkesan tak berpengharapan.

Seketika, kembali aku jumpai perempuan itu. Di pertigaan jalan itu. Seperti ada sesuatu ditunggunya. Tampak berpenampilan berbeda dari sebelumnya. Tampak anggun. Di bawah sinar rembulan, tampak cahaya menyepuh seluruh tubuhnya. Tak seperti aku lihat sebelumnya. Meskipun demikian, auranya masih menggelisahkan. Ia masih menangis. Entah ke berapa kalinya. Entah karena apa lagi.

Kembali perlahan, aku mendekatinya. Amat perlahan. Entah kegelisahan apalagi darinya. Yang kutahu, sejak pertama memang cukup banyak seolah ia gelisahkan. Aku sudah mendekat. Ia tampak menangis. Seperti kala waktu aku menjumpainya.

Kali ini aku ingin berkata padanya, tapi tak dapat. Kecuali dalam hati: Entah kegelisahan apalagi kau punya. Padahal ingin banyak berkata-kata padanya. Ingin tahu, kesal maupun sesalnya.

Cukup lama aku menunggunya. Penasaran. Mungkin aku harus memulainya. Semata, memancingnya bicara.

Inilah kesekian kalinya kulihat kau menangis lagi. Entah duka apa kau punya.

"Malam tak ada lagi. Sungguh jahanam. Aku kehilangan segalanya dari orang-orang serakah yang telah membakar matahari."

Aku masih tak mengerti maksud bicaranya. Aku hanya melihat ia menangis kembali. Terisak-isak. Entah kepada siapa pula ia tujukan kata-kata itu. Entah apa yang mengganggunya.

Tiba-tiba ia kembali berkata.

"Aku merindukan lelakiku dan matahariku. Semua di sini pada puas. Kepuasan mematikan kehidupan siang. Orang-orang di sini hanya ingin enaknya saja. Selalu menikmati malam. Menghalalkan haram. Mengharamkan halal. Lelakiku terbunuh karena memertahankan siang. Sekarang hanya malam. Malam di kota penuh kejahatan. Aku merindukan terang."

Dengan langkah amat perlahan aku meninggalkannya. Tampak olehku dari kejauhan, ia masih berbicara seorang diri. Sambil sesekali terisak-isak. Aku kembali berjalan. Entah ke mana. Tidak ingin pulang ke rumah.

Ada sepi dan ramai. Kembali aku melintasi orang-orang menikmati malam bawah rembulan. Anak-anak masih tak letih berlarian. Penduduk kota masih dengan nikmatnya. Entah nikmat yang bagaimana. Semua tampak tanpa beban. Tempaan angin dari arah teluk cukup membuat dingin. Di kota selalu malam aku masih terus bertanya dalam hati. Kegilaan apa yang menjadikan mereka nekat membakar matahari.

Setiap hari, di malam bawah rembulan. Aku masih melewati ruas-ruas jalan di kota ini. Kota pekat. Kota nekat. Setibanya di pertigaan jalan itu, di sudut tembok, aku kembali melihat perempuan tengah menangis. Seorang diri. Kali ini bukan yang tadi kujumpai. Rasanya tak perlu lagi aku dekati. Hanya dalam hati: Entah kesedihan apalagi yang kau punya.

Telukbetung, 2007 : F. Moses

Bangkai Kegelapan

Bagaimana pun hidup harus dipandang lebih ke depan. Ini berarti hidup harus dimulai lagi. Berjalan di atas bayangan masa silam yang mengharubirukan, tidak boleh dibiarkan berlanjut sampai terbawa ajal. Tidak! Ia musti dikubur. Dan, kuburan itu musti dibikin secara baik agar bangkai yang tertanam di dalamnya tidak mampu menyemprotkan bau. Begitu keputusan Fil. Janda lusuh yang baru saja terpancar sinar keinginan hidup lebih baik dari wajahnya. Matanya.
Setelah setahun ditinggal mampus suaminya, Fil memang berubah drastis gaya hidupnya. Ia tidak saja terasing dari lingkungannya, melainkan dengan berani mengasingkan diri, juga dari semua kerabatnya dan lingkungan keluarganya. Fil menghabiskan sehari-harinya di sebuah kamar -- di rumah mertuanya -- yang pengap. Ia menciptakan penjara bagi dirinya sendiri.
Kalau waktu makan datang, setiap pengantar makanan itu hanya sampai pada lubang pintu kamar yang sengaja dibuat Fil. Begitu tangan pengantar makanan menjalar, Fil segera mengambilnya dengan cara merapatkan badan ke samping pintu. Sulit memang untuk melihat bagaimana sesungguhnya Fil. Apakah masih montok? Cantik? Lincah? Ataukah sudah ..ah! Lalu, bagaimana pula kalau berak? Mudah. Tahinya selalu dibungkus koran. Ia cebok persis orang bule. Tahinya dibuang lewat jendela kamarnya yang juga diberi lubang.
Telah berkali-kali mertua Fil memohon kepadanya agar keluar dari kamarnya. Buat apa menyiksa diri. Tapi ia tak peduli. Bahkan, ketika orang tuanya meminta hal serupa, juga tak ditanggapinya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Pernah terjadi ketegangan yang luar biasa. Waktu itu, mertua dan orang tua Fil mengancam akan bunuh diri bersama kalau Fil masih saja mengurung diri. Namun, apa kata Fil? "Kalian mau bunuh diri kek, mau telanjang bulat kek, mau menangis sampai keluar air mata darah kek, mau membom rumah ini kek, saya tidak akan beranjak dari kamar ini."
Mertua dan orang tua Fil malah jadi frustasi. Akhirnya mereka hanya mampu melawan ulah Fil dengan cara mendiamkan Fil, kendati pada dasarnya mereka gelisah sungguh. "Kita harus menguji kekuatan kita," tegas orang tua Fil yang disetujui sang mertua.
* * *
Ini adalah sore yang bersih. Tak seperti biasa. Fil mengatur kamarnya. Foto-foto perkawinannya dibersihkan dan dipajang di dinding dengan amat teratur. Ia pasang seperti putih pada ranjang tidurnya. Ia atur meja belajar. Ia atur segala tetek-bengek yang dianggapnya membuat sumpek. Ia menjadi begitu feminin.
Setelah selesai, ia melangkah ke depan cermin. Ia pandangi wajah dan seluruh tubuh. Ia bergaya mirip peragawati. Ia sendiri sebetulnya merasa aneh. Mungkin, sekarang ia betul-betul sudah tidak lagi waras. Mungkin. Tapi, kemudian keanehan itu segera dilenyapkan. "Saya tidak gila. Dan, tidak ada yang gila di dunia ini," katanya di depan cermin. Lalu, ia tersenyum. Manis.
Fil duduk di kursi jendela kamar rumahnya yang tidak seberapa besar itu. Lewat lubang jendela yang dibuatnya itu, ia pandangi sebuah ranting patah yang bergelayutan. Ia biarkan wajahnya diterobos matahari sore.
Malam perkawinan itu kembali muncul. Fil bahagia. Semua orang yang hadir juga bahagia. Fil merasa harapan yang tadinya tak menentu, kembali menjadi utuh. Betapa tidak? Tiga hari menjelang perkawinan, Paimin -- calon suaminya -- datang. Menurut pengakuan Paimin, ia dibebaskan dari segala tuduhan merampok dan membunuh. "Tuhan memang selalu melindungi orang yang tidak bersalah. Tuhan telah membuka mata dari jaksa penuntut dan pembela, juga hakim," tutur Paimin mantap di tengah peluk tangis Fil menyambut kedatangannya.
Paimin ditangkap pihak berwajib karena tuduhan membunuh haji Sukron dalam suatu perampokan tengah malam di rumah juragan penggilingan padi itu. Entah perasaan apa yang tertanam di hati perampok itu, tiba-tiba para tetangga melihat ada bercak darah yang menempel di pintu dan jendela rumah Paimin.
Tentu saja para tetangga jadi ribut. Panik. Apalagi tetangga yang suka usil, tanpa membuang waktu segera menggedor rumah Paimin. Seperti kena setan kesiangan para tetangga lainnya menyerbu masuk. Paimin yang terjaga dari tidurnya itu jadi kalang kabut. Ia coba menanyakan kesalahannya, tapi tampaknya para tetangga tidak lagi peduli. Mereka, terus menyeret Paimin ke pos Hansip. Bukan itu saja, ketika Paimin digiring, tangan-tangan usil pun tak bisa dihindari. Wajah Paimin babak-belur. Dan, sampai hati mereka membugili mangsanya itu.
Paimin ditangkap. Kasusnya diperiksa oleh polisi. Baru belakangan diketahui bahwa Paimin tidak bersalah. Koran-koran laris keras.
Paimin memang nganggur, kendati sebulan lagi ia akan naik pelaminan bersama Fil. Bermula ia diajak Tomang, teman dekatnya, main judi. Tanpa banyak cukup Paimin menerima tawaran itu. Pada pikirannya, kalau menang, lumayan bisa tambah modal kawin. Lalu, mereka main judi.
Iming-imingnya benar. Tomang kalah. Bahkan seluruh barang yang dipakai Tomang ludes. Berpindah tangan ke Paimin. Dengan bangga Paimin pulang bawa kemenangan. Hatinya sumringah, sebab harapannya terkabul, diajaknya Fil nonton film di bioskop. Dengan uang itu, ia bisa honeymoon.
Rupanya kekalahan Tomang berbuntut. Hari berikutnya Tomang kembali menantang Paimin. Tapi, tantangan itu ditolak dengan wajah penuh penyesalan. Ia bilang kepada Tomang bahwa Fil tidak mau punya suami pemain judi. Fil mengancam putus kalau Paimin terus bermain judi. Tomang jadi berang. Tanpa banyak cakap Tomang meleset pergi. Melihat tingkah Tomang, Paimin tak ambil pusing. Ia sudah biasa melihat Tomang semacam itu.
Tomang dendam, lalu pasang aksi. "Aku harus melakukan sesuatu!" Begitu keputusan Tomang. Geram.
Malam itu bulan tak ada. Langit merah. Angin mendayu-dayu. Tomang beraksi. Ia rampok rumah haji Sukron. Nasib sial menimpa Tomang. Belum sempat ia bongkar almari, haji Sukron memergokinya. Ia panik, dan haji Sukron bagai kena sirep. Sekali melompat -- entah sadar atau tidak -- Tomang segera menghujamkan pisaunya ke tubuh haji Sukron. Lalu haji Sukron mampus setelah sedikit mengerang dan berkolojotan.
Tomang tak menyia-nyiakan kesempatan sebelum seisi rumah itu bangun. Ia melesat pergi. Ia langsung menuju rumah Paimin. Begitu sampai, ia segera menyelipkan pisau yang berlumur darah itu ke atas daun pintu rumah Paimin, kemudian memberi bercak-bercak darah di pintu dan jendela, ke dinding-dinding. Mengerikan!
Begitulah. Dan, seluruh peristiwa itu diketahui Paimin justru pada saat ia melangkah ke luar pintu muka bangunan penjara, ketika ia dinyatakan bebas. Ia beli koran. Bagian terakhir berita koran itu menyebutkan, Tomang datang sendiri ke kantor polisi dan mengakui kesalahan segala perbuatannya. Tomang tak betah dibayang-bayangi dosa. Yang membuat Paimin trenyuh adalah ketika membaca bagian paling akhir berita koran itu. "Paimin, maafkan aku. Kalau kau mau balas dendam, aku takkan melawan," ucap Tomang dalam tulisan itu.
Bola mata Paimin berkaca-kaca. Perkawinan berlangsung meriah. Paimin dan Fil bahagia. Juga semua orang. Tak ada tanda yang dapat ditangkap bahwa akan ada peristiwa yang mengerikan. Seusai malam perkawinan. Di tengah gulita. Di tengah kenyenyakan tidur pengantin baru itu, telah terjadi suatu peristiwa berdarah, Paimin, suami Fil, mampus.
Adzan shubuh bergema. Seperti biasa Fil terbangun dari tidurnya. Tapi, begitu ia menengok ke samping, mau memeluk sang suami, bukan kepalang kagetnya, suami Fil tergeletak. Ususnya berhamburan. Fil menjerit sekuat tenaga. Juga alam. Histeris.
Sebelum tidur, memang ada percakapan yang mengasyikkan sepasang pengantin baru itu.
"Kamu bahagia?" tanya Fil lembut. Paimin mengangguk cepat. "Saya heran, kok yang datang banyak," ucap Fil lagi. Dan, Paimin hanya mengangkat bahu. "Padahal kita akan hanya mengundang seratus orang." Lagi, Paimin mengangguk. "Kok bisa lebih?" tanya Fil.
"Saya hitung ada tiga ratus orang," tukas Paimin.
"Gila! Apa mereka kebagian makanan?"
"Mudah-mudahan."
"Apa mungkin?"
"Namanya saja mudah-mudahan."
Fil tidak berkata lagi, kecuali menghela napas panjang. Paimin bangkit dari ranjang, lalu berjalan ke dapur. Fil tak peduli. Dengan sigap Fil membuka kado-kado yang menumpuk di ranjangnya.
Sebuah kado berisi pakaian bayi. Fil asyik memandanginya. Ia kaget ketika ditegur sekonyong-konyong suaminya yang sudah berada di mulut pintu kamar. "Kamu mau minta perempuan atau laki-laki?" Fil hanya tersenyum saja. Lalu, Paimin duduk di ranjang, berhadapan dengan Fil. Lalu, ikut membukakan kado. Suami Fil agak tersipu ketika ia temukan benda yang tak asing dalam kado itu.
"Ada yang aneh?" tanya Fil main-main. Suami Fil mengangguk. "Boleh lihat?" sambung Fil. Tanpa banyak cakap Paimin segera menyodorkan bungkusan kado itu. Begitu dibuka, Fil terperanjat. Namun, hal itu hanya sejenak. Wajahnya berubah malu. Lalu, mereka tak sanggup menahan geli. Dan, tawa mereka berakhir dengan pelukan Paimin.
"Nggak capek?" tanya Fil lirih.
"Nggak," balas suami Fil semangat. Lalu, mereka tertawa lagi, dan sekejap tawa mereka berhenti. Malam hanya tinggal lampu-lampu yang berkelap-kelip dan bulan-bintang yang bergelayutan. Malam hanya tinggal desir angin. Malam hanya tinggal desah napas. Malam hanya tinggal.
Begitulah!
Fil menjerit sekuat tenaga. Histeris. Seisi rumah bangun. Kelabakan. Menyerbu kamar pengantin baru itu. Dan, seisi rumah itu menjerit histeris.
* * *
Di kursi itu. Di sudut jendela itu. Di sore itu. Fil menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia merasa seluruh tubuhnya bergetar. Keringatnya menyembul dari pori-pori kulitnya. Jantungnya berdegup kencang. Aliran darahnya ngilu, liar, saling tumpang tindih. Fil menjadi lemas. Ia tidak kuasa menemukan jawaban siapa sebenarnya pembunuh suaminya, Tomang, atau teman-teman Tomang? Seperti dugaan koran. Tidak mungkin. Tomang telah menulis pernyataan secara terbuka di koran, dan semua orang pasti baca. Lalu siapa? Petrus? Tidak mungkin, Paimin bukan penjahat. Paimin tidak pantas untuk di petrus!
Fil coba bangkit dengan sisa tenaga dan sisa pertanyaannya, tapi ia tak sanggup. Setahun sudah peristiwa itu, sampai sekarang tak diketahui ujung pangkalnya. Koran-koran tak lagi memberitakannya. Fil pun putus asa. Dengan suara terpatah-patah, ia bicara sendirian. "Kalau memang Engkau ingin mengakhiri sejarah akhirilah."
Dalam keputusannya itu, ada suara yang jatuh di luar. Fil mengintip dari lubang jendela. Ranting patah yang bergelayutan itu. Mencium bumi kendati angin tidak ada. Dan begitu Fil memejamkan mata, matahari sore hilang. Sayup-sayup terdengar suara adzan maghrib. Lagi, entah sadar atau tidak, Fil berucap, "Ampunilah saya, Tuhan." Fil lalu berdiri. Dan, ia baru sadar kalau sanggup berdiri.
"Ya, hidup harus dimulai lagi. Cukup lama saya menghirup bangkai kegelapan, untuk menyingkap alam sebenarnya pembunuh suami saya. O, saya sia-sia. Dan, sekarang saya tak ingin sia-sia. Saya harus seperti koran. Perlu diingat pada saat tertentu saja." Begitu kata hati Fil. Lalu, ia membuka jendela. Lalu, ia berjalan ke sumur. Lalu, ia mengambil wudhu. Lalu, ia sembahyang. Lalu, ia tidur dengan tenang, seisi rumah seperti orang gila ketika melihat perubahan Fil.

Suara Karya, 2008 : Restoe Prawironegoro Ibrahim
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Restoe Prawironegoro Ibrahim

Aku Datang Memenuhi Panggilan-Mu

LABBAIK Allahumma labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik. Innal hamda wanni`mata laka wal mulka, la syarikalak...

Talbiyah itu terus berkumandang memenuhi ruangan. Aku mendengarnya begitu mencekam, mendebarkan, membuatku terpana. Ada sesuatu yang membuatku terguncang. Jutaan suara itu menggema. Entah dari mana. Padahal di dalam ruangan tak ada siapa-siapa, kecuali aku, sendiri.

Tiba-tiba seperti ada yang menggiringku untuk melangkah. Aku tak tahu pasti apakah aku berjalan di atas tanah, atau di udara. Yang kurasakan tubuhku begitu ringan, seakan melayang-layang. Lalu aku tiba di suatu tempat, entah di mana. Di hadapanku sudah berdiri seseorang berpakaian putih-putih, menyambutku dengan kedua lengannya yang merentang lebar-lebar.

Sesaat aku tertegun. Aku sangat mengenal wajah itu. Wajah tua renta, dengan tubuh bungkuk, yang biasa berdiri di pertigaan sebuah kompleks perumahan. Ia selalu menadahkan topi anyaman yang sudah kusam. Setiap aku lewat, kumasukkan uang seribu, kadangkala dua ribu atau lima ribu ke dalam topi itu. Dan ia selalu membalasnya dengan doa yang itu-itu juga. "Ooo, terima kasih, Den. Terima kasih. Semoga rezekinya banyak, jadi haji yang mabrur?."

Aku tak tahu pasti, apakah doa itu diucapkannya juga kepada yang lain, atau hanya khusus kepadaku saja. Yang pasti, aku tak pernah melihat ada orang lain, ketika ia berada di tempat itu. Atau aku tak pernah melihat ada orang lain yang memberi uang kepada dia.

Mengapa aku begitu terikat secara emosional kepada dia, aku juga tak tahu. Aku selalu merasa iba melihat wajah dan keadaan tubuhnya yang renta.

Kadangkala aku memergoki dia sedang makan di tepi jalan, di bawah rimbun pohon, sambil menyembunyikan wajahnya ke dalam topinya. Bahkan sekali waktu, aku pernah melihat dia sedang shalat dzuhur di tepi jalan, di atas sajadah yang bersih.

Sempat terpikir, ingin menghampiri dan bertanya lebih jauh tentang dia, tapi selalu urung dan urung lagi. Ah, untuk apa, bukankah ia sama saja seperti peminta-minta yang lainnya. Padahal, jauh dalam lubuk hatiku, ada sesuatu yang membuatku penasaran. Begitu banyak pengemis di jalanan, tapi aku merasakan ada sesuatu yang lain jika memerhatikannya.

Dan lelaki tua itu sekarang ada di hadapanku. Wajahnya seolah memancarkan cahaya. Begitu bersih. Berseri.

Ia menyuruhku mebersihkan tubuh, lalu memberiku kain putih, sama seperti yang dikenakannya.

Ia mengajakku salat tengah malam, salat tahajud.

Ia membacakan doa dalam bahasa Arab, tapi aku seperti mendengarkan artinya dalam bahasa Indonesia.

"Ya, Allah karuniakanlah haji yang mabrur, sai yang diterima, dosa yang diampuni, amal saleh yang diterima, dan usaha yang tidak akan mengalami rugi. Wahai Tuhan Yang Maha Mengetahui apa-apa yang terkandung dalam hati sanubari. Keluarkanlah aku dari kegelapan ke cahaya yang terang benderang. Ya Allah, aku mohon kepada-Mu segala hal yang mendatangkan rakhmat-Mu dan keteguhan ampunan-Mu, selamat dari segala dosa dan mendapat berbagai kebaikan, beruntung memperoleh surga, terhindar dari siksa neraka. Tuhanku, puaskanlah aku dengan anugerah yang telah Engkau berikan, berkatilah untukku atas semua yang Engkau anugerahkan kepadaku dan gantilah apa-apa yang gaib dari pandanganku dengan kebajikan dari-Mu. Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan hindarkanlah kami dari siksa neraka."

Usai berdoa, ia menangis sesenggukan. Lalu aku pun terbawa ke dalam keharuan yang tulus itu, keharuan yang ikhlas itu, keharuan yang mengalir begitu saja, dalam tangis yang menderas.

Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Pada saat kedua telapak tanganku terbuka, ia tak ada lagi di hadapanku. Aku berteriak memanggilnya. Tapi suaraku seakan menembus ruang hening.

Lalu aku terbangun. Duduk termangu di tepi ranjang. Melihat ke arah jam dinding. Pukul tiga dinihari.

"Tahajud…," aku mendengar bisikan itu, bisikan yang membuatku bergerak menuju ke kamar mandi untuk berwudu.

Ini adalah tahajudku yang pertama kali.

**
PUKUL tujuh pagi, baru saja aku mau berangkat ke kantor, seorang lelaki muda berpakaian rapi, datang kepadaku.

"Maaf, Pak. Saya disuruh pimpinan saya untuk menemui Bapak," kata lelaki itu.
"Ada urusan apa? Siapa pimpinan Bapak?" tanyaku terheran-heran.
"Saya dilarang menyebutkan namanya. Pokoknya, Bapak diminta menemuinya jam satu siang. Ini alamat kantornya."

Aku tertegun. Membaca kantor perusahaannya, ia seorang pengusaha sukses. Tapi siapa namanya? Apa urusannya denganku? Mengapa merahasiakan namanya? Dari mana pula ia mengenalku?

Aku masih termangu, ketika lelaki itu mengingatkan.

"Jangan lupa pukul satu siang. Pimpinan saya sangat sibuk, tapi ia sengaja meluangkan waktu untuk bertemu dengan Bapak."

Meskipun dalam keadaan bingung, aku menganggukkan kepala.

Pukul satu siang aku sudah tiba di kantornya. Aku disuruh menunggu di ruangan kerjanya yang luas dan sejuk. Begitu aku disuruh untuk masuk, ia seperti sengaja tak mau langsung bertatap muka. Aku menunggu selama lima menit.

Orang itu muncul dari arah lain. Tinggi tegap. Gagah. Tampan. Ia menghampiriku sambil tersenyum. Begitu berhadapan, aku terperangah.

"Masih ingat aku?" tanyanya.
"Alfarizi," gumamku.
"Ya, ya, aku Alfa. Syukurlah kau masih ingat aku."

Lalu kami berpelukan.

Alfarizi, dia teman sekolahku waktu di SMA. Anak tukang becak. Ia sering menunggak iuran sekolah, karena orang tuanya memang miskin. Tapi semangat belajarnya tinggi. Pintar. Cerdas. Aku sering membantu, membayar iuran sekolah, atau membelikan buku pelajaran. Kadangkala, aku berbohong kepada ibuku, pura-pura meminta uang untuk keperluan sekolah, padahal untuk kepentingan Alfarizi.

Ketika kami lulus SMA, aku pindah ke kota lain. Kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi. Kami tidak sempat bertemu lagi. Bahkan aku mengira, ia tak meneruskan sekolah, mungkin kerja, jadi buruh pabrik.

Dan kini, setelah tiga puluh lima tahun berpisah, ia sudah jadi orang yang sukses. Pimpinan sebuah perusahaan besar. Aku tak ingin banyak bertanya tentang kesuksesannya, sebab aku percaya pada satu hal tentang Alfarizi; ia pintar, cerdas, ulet, dan pantang menyerah. Ibadahnya juga kuat.

Ia baru dua Minggu ditugaskan memimpin perusahaan di kota ini. Ia bilang, ia ingat dulu aku pindah ke kota ini. Lalu ia mencari-cari alamatku. Hingga menemukannya berikut tempatku bekerja.

Kami bercerita panjang lebar, sampai akhirnya ia bilang....

"Aku banyak berhutang budi padamu. Aku bisa begini, salah satunya karena andil kebaikanmu sewaktu di SMA. Aku selalu berharap suatu ketika aku bisa bertemu denganmu, ingin sekali aku membalas kebaikanmu."

"Nggak perlu diingat-ingat, aku ikhlas kok. Aku nggak mengharapkan balasan. Bahkan aku ikut bangga, karena kau jadi orang yang sukses," kataku, benar-benar tulus.

"Begini saja. Kalau ada kesulitan, bilang saja padaku, sebagaimana aku dulu, jika ada kesulitan dalam urusan membayar uang sekolah, selalu mengemukakannya padamu."

Aku terharu sekali mendengar ucapannya itu. Memang banyak keperluan yang belum terpenuhi, tapi aku selalu bersyukur sebab bisa mengatasi segala kebutuhan rumah tangga, termasuk biaya untuk sekolah anak-anakku. Tapi aku tak mau mengemukakan hal itu. Aku hanya bisa mengucapkan, "Terima kasih."

Ia memandangku, lalu mengusap pundakku.

"Yang ini jangan kau tolak. Tahun ini aku ingin menunaikan ibadah haji bersama istriku, dan aku berharap kau dan istrimu juga ikut bersama. Semua biaya biar aku yang menanggungnya."

Aku tertegun. Ini benar-benar di luar dugaan.
Subhanallah.... Alangkah bagianya istriku bila mendengar berita ini!
Tiba-tiba saja aku ingat mimpi itu.
Labbaik Allahumma labbaik!. Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah!

**
PULANG kantor, pukul lima sore, mobilku dihentikan oleh beberapa orang yang sedang berkerumun di tepi jalan. Aneh, begitu banyak mobil yang lewat, tapi mereka malah menghentikan mobilku.

Salah seorang menuntunku ke halaman sebuah rumah kosong. Ia meminta tolong agar aku membawa seseorang ke rumah sakit.

Aku melihat seorang lelaki tua tergeletak di atas sajadah.


Ya, Allah! Lelaki tua itu. Pengemis itu. Dia yang datang dalam mimpiku. Dia yang selalu menyampaikan do`a, agar aku banyak rezeki dan jadi haji yang mabrur.

Aku menghampirinya. Innalillahi wa inna ilaihi roji`uunn. Ia sudah meninggal. Dan semua terheran-heran menyaksikan aku menitikkan air mata.

"Aku melihat kedamaian dalam penderitaanmu. Aku menemukan cahaya di wajahmu. Semoga engkau jadi ahli surga," bisik hatiku.

Tuesday, February 14, 2012

Berkomentar Bukan Sekedar Sensasi

Kadang kala mengomentari sebuah tulisan seseorang akan memberikan nilai tambah bagi si penulis, namun kadang kala semua itu menjadi sensasi bagi sang komentar, karena dengan berkomentar atau mengomentari sebuah tulisan membuat dia merasa bahwa hanya dialah yang mampu untuk mengkritisi orang lain atau bisa dikatakan sebagai sensasi. Namun pada dasarnya mengomentari sebuah tulisan seseorang bukan mengritisi untuk sekedar sensasi saja, melainkan dapat memberikan nilai tambah buat si komentar, kenapa ko begini dan kenapa menjadi sebuah yang sangat bagus? 
Semua itu kembali lagi dari apa yang ada dalam pikiran sang pengomentar, apakah yang di komentari sesuai dengan apa yang ada dalam tulisan tersebut? jika tidak, berarti itu hanya sekedar sensasi. 
Untuk untuk dalam membuat sebuah tulisan yang memang mengundang banyak komentar agar dapat membuat tulisan yang lebih baik lagi di kemudian hari adalah, memberikan pertanyaan kembali kepada si pembaca, contohnya, kenapa kita melakukan hal itu? tentu dengan pertanyaan yang sangat sederhana mampu menimbulkan rasa keingin tahuan seseorang untuk membacanya dan untuk mengomentari sebuah tulisan. 
Memang tidak semua tulisan yang dibuat akan memberi manfaat yang banyak, namun sebuah tulisan akan mampu memberikan informasi bagi banyak orang, dimana mereka berada, dimana mereka membaca dan bagaimana mereka mendapatkannya. Oleh karena itu marilah bersama-sama untuk belajar mengomentari sebuah tulisan, apa pun itu bentuknya, judulnya bahkan isinya. Agar kita memiliki banyak pengetahuan tentang kekurang dari sebuah tulisan tersebut, sehingga kita akan dapat membuat tulisan yang lebih baik. 


Saturday, February 11, 2012

Semua hanyalah mimpi

Terkadang hidup ini terasa begitu nyata, sempurna dan kadang kala kita merasa hidup yang dijalani sangat-sangat sempurna, tanpa kita perdulikan apa yang ada disekitar kita.

Bahwasanya kehidupan hanya sebuah dongen yang dijalani dengan pergerakan waktu dan perubahan zaman. Namun itu lah kehidupan yang harus terus berjalan meski hanya sekerdar nafas yang berhembus. 

Aku tak mengerti dan tak begitu paham dengan apa yang ada dalam pikiran ku, terkadang aku gundah, terkadang aku ingin menangis dan tertawa melihat penomena kehidupan yang dijalani orang lain. 

Bagi ku hidup semua hanya lah angan belaka, hidup tidak lah nyata, bagaikan panggung sandiwara yang diawali dengan satu kebohongan dan kebohongan lainnya. 

Akan kah mampu kita untuk terus tersesat dalam kehidupan yang fana ini?
Akan kah kita mampu untuk berlari dari kenyataan kehidupan yang usang ini?

Aku pun tak mampu untuk menjawabnya, dan tak dapat untuk menggambarkannya kelak. Begitu lah kehidupan hanya sebuah mimpi yang akan menjadi seuntai tali yang terbang bebas tertiup angin, seperti salju yang turun dari langin dan menghilang. 

Semua yang diawali dengan kebaikan maka akan berakhir dengan kebaikan, namun hal yang diawali dengan keburukan maka akan berakhir dengan keburukan pula.

Mari kita berkaca pada diri kita, apakah kita sudah layak untuk menjadi orang yang baik? 
Mari lah kita renungkan dalam hati kita, apa yang telah kita lakukan untuk diri kita, keluarga, teman, sahabat bahkan kepada orang-orang yang amat kita sayangi? 
Sudahkan kita menata diri, merias apa yang harus kita siapkan untuk kehidupan nanti? 

Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing.